Senin, 29 September 2014

PUPIL

dilated pupil


Sudah sewindu ku di dekatmu
Ada di setiap pagi, di sepanjang harimu
Tak mungkin bila engkau tak tahu
Bila ku menyimpan rasa yang ku pendam sejak lama

Aku tersentak mendengar lirik lagu yang barusan kudengar. Aku bahkan lupa buku apa yang hendak kubeli di toko buku ini. Otakku memutar ingatan tujuh tahun yang lalu. Sewindu yang kurang setahun. Ada hal yang tak pernah bisa kulupakan dari seorang sahabatku, dulu. Matanya. Dia memiliki mata paling indah dan cemerlang yang kutahu. Pupilnya membesar dan membulat sempurna setiap kali kami bicara. Lalu sekarang aku tersadar, pupil itu membesar bukan tanpa alasan.

•••



Kamu adalah orang yang pertama kali kutemui ketika aku sampai di sekolah setiap pagi. Kamu juga orang yang selalu duduk di sampingku dan mendengarkan keluhanku tentang apapun, tanpa bicara atau menghakimi. Kamu selalu tahu cara melindungiku tanpa membuat ikatan. Tak peduli gosip apapun yang beredar tentang aku dan kamu, kamu selalu duduk di sampingku dan menjadi teman terbaikku.

Sampai kemudian, saat itu datang. Aku jatuh cinta pada seseorang. Kamu tahu tapi pura-pura tidak tahu. Kamu cemburu tapi tetap membantuku, selalu. Kamu mengawasi aku, melindungiku dan menahan hati untuk tidak peduli dengan ceritaku. Aku yang lalu kurang peka karena sedang merasakan cinta untuk kali pertama. Aku yang tidak peduli dengan sekian lama persahabatan kita, yang kutahu kamu selalu ada.

Suatu kali kamu bertanya dengan sungkan tentang kedekatanku dengan dia. Aku hanya  diam sambil tersipu dalam hati, tidak ingin kamu tahu entah apa alasannya. Aku takut kamu pergi jika tahu aku sudah memiliki seseorang. Mungkin aku serakah, tapi aku tidak bisa membayangkan jika kursi di sebelahku kosong, satu hari saja. Aku tidak bisa membayangkan, tidak bertemu denganmu ketika pertama kali kubuka pintu kelas. Aku tidak bisa.

Akhirnya ketakutanku terwujud beberapa pekan kemudian. Aku tak lagi mendapati kamu yang menungguku di balik pintu. Aku hanya selalu melihat dia yang sekarang denganku. Kudapati kamu duduk di barisan lain, kursi di sebelahku lebih sering kosong, atau kadang-kadang dia duduk di sebelahku. Ada saat-saat mata kita bertatapan, tapi entah mengapa rasanya mataku selalu ingin menghindar. Aku belum mampu melihat tatapan matamu yang sekarang berubah sendu. Kata teman-temanku, kamu patah hati dengan anak kelas sebelah.

Butuh dua bulan untukku bosan dengan kediaman-kediaman kita. Aku bosan dengan dia yang melulu bicara cinta. Cerita hidup lebih dari sekedar cinta dua manusia. Kutemukan kamu di hari terakhir sekolah. Tergagap kamu menyapaku, aku tak peduli, aku butuh bicara, kamu ke mana saja ? Kamu bilang, rasanya kedekatan kita mengganggu aku dan dia. Kamu bilang, ada saatnya untuk tahu diri dan mundur perlahan. Kamu bilang, kita tetap teman. Aku ingin percaya.

•••

Tujuh tahun itu waktu yang cukup lama hanya untuk merindukan. Aku tak pernah lagi menjumpai kamu di manapun aku berada. Tak ada juga kamu di dunia maya. Tapi, mungkin jodoh itu tidak ke mana, seperti kata pepatah lama. Hari ini, aku menemukanmu lewat lagu dan toko buku. Kulihat nama penulis buku yang kupegang, setengah tidak percaya. Sejak kapan kamu yang anti-sastra bisa menulis cerita begitu bagusnya. Kubeli sebuah bukumu, lalu kubaca semalam suntuk. Ada aku di barisan ceritamu. Tapi, ada juga orang-orang baru yang masuk dalam hidupmu. Setengah rinduku sudah terobati. Kini, aku tinggal mencarimu untuk menggenapkan lagi setengah rindu.

“Untuk siapa ?”tanyamu tanpa mengangkat kepala ketika aku mendatangi acara penandatanganan bukumu.
“Raina, Raina Anastasya.”jawabku tersenyum. Kamu berhenti menulis dan menatapku.
“Nana!”serumu kemudian.

“Bagaimana hidup ?”, itu yang pertama kali kamu tanyakan ketika akhirnya kita bicara setelah tujuh tahun. Kujawab bahwa sejauh ini aku baik-baik saja. Hanya memang sudah begitu banyak yang berbeda denganku. Begitupun kamu. Kamu banyak bicara tentang pencarian, aku menimpali dengan mengiyakan. Sulit memang mencari sesuatu ketika hati cuma sebelah, terbelah. Akhirnya dalam diam, kita rasanya sepakat untuk memulai apa yang tidak pernah berani kita mulai dulu. Sesuatu yang tetap tanpa nama namun punya makna, setidaknya untuk kita.

Kemudian hari-hariku kembali seperti tujuh tahun lalu, ceria dengan kamu. Ada yang kunantikan untuk menyambutku setiap kali aku membuka pintu cafe untuk makan siang. Ada sepasang telinga untuk mendengarkan keluhanku ketika dia membosankan. Ada yang menatapku dengan sepasang mata indah dengan pupil membulat sempurna. Bedanya, sekarang aku memahami alasan mengapa matamu menjadi seindah itu. ***


29Sept2014. 16:00 wib
#bukanrepresicumafiksi


Tidak ada komentar: