Senin, 22 Agustus 2016

Hati dalam Secangkir Kopi


sumber: http://www.kaffein.ru/picts/choose_coffee_anons__2.jpg

Armia

Aku tidak suka kopi. Aku tidak mengerti bagaimana orang-orang bisa menikmati pahit dan asamnya rasa minuman hitam beraroma surga itu. Kopi pertama yang kucicipi adalah kopi instan yang rasanya cenderung terlalu manis, itu bukan benar-benar kopi. Lalu, kopi kedua yang kucicipi adalah seteguk espresso yang dibuatkan mantan pacarku yang seorang barista. Aku benar-benar hanya minum seteguk karena rasa pahit dan asamnya terlalu kuat untukku. Sejak itu, aku hanya minum latte. Hidup sudah terlalu banyak pahit, untuk apa aku butuh kopi ?*

Kafe besar di tikungan jalan utama Bandung ini adalah kafe pertama yang kudatangi seorang diri. Aku mengetahui kafe ini dari salah seorang teman yang tiba-tiba menjadi pecinta kopi sejak semakin menjamurnya kafe-kafe kopi di Bandung. Tempatnya mudah ditemukan karena sangat dekat dengan area wisata belanja di Bandung dan juga plang nama kafenya tertera besar-besar di depannya. Sayang parkirannya cukup sempit, aku harus memarkirkan mobilku di depan sebuah sekolah menengah di dekat sana. Lain kali, kukira aku akan naik angkutan kota saja.

Berjalan kaki aku masuk ke parkiran yang penuh dengan mobil-mobil berplat B. Malam Minggu yang asing, aku di Bandung tapi rasa ibukota. Seorang satpam berpakaian serba hitam dengan potongan rambut masa kini-nya menyam
butku dengan senyuman. Sepertinya dia tahu jika itu kali pertama aku ke sana. Satpam itu memanduku sampai pintu masuk dan membukakan pintu sambil menjelaskan proses pesan-bayar di kafe ini. Aku masuk dan aroma surga –aroma kopi- menyeruak ke hidungku.

“Bisa dibantu, Kak ?”seorang kasir berwajah cantik –tapi jutek- menyapaku.

“Mau pesan, bisa minta menu-nya ?”tanyaku kemudian.

Kasir itu kemudian mengangsurkan kepadaku daftar menu yang diletakkan pada papan seperti yang digunakan anak-anak sekolah untuk ujian. Hmm, unik.

“Mau pesan di sini atau sambil duduk ?”tanyanya lagi.

“Oh, boleh ya pesannya nanti ? Best-nya apa di sini ?”tanyaku sambil menebar pandangan ke dalam kafe, mencari tempat duduk yang kosong.

“Boleh pesannya nanti, Kak. Kalau yang paling banyak dipesan di sini Mapletini, Caramel Macchiato, dan Espresso, Kak. Makanannya Baked Rice. ”kasir itu menjelaskan.

“Oke, makasih, Mbak. Saya pesannya nanti aja.”kataku mohon diri dan masuk ke dalam kafe.

Malam Minggu sepertinya adalah waktu yang salah untuk memilih kafe ini sebagai tempat menghabiskan waktu sendirian. Waktu menanyakan menu tadi, aku melihat area duduk di belakang kasir sudah penuh, tampaknya digunakan untuk pesta ulang tahun sekelompok mahasiswa. Area merokok di depan pun sudah penuh oleh para perokok aktif yang menikmati kopi sambil mengepulkan asap rokok. Aku berbalik, tiga meja di depan kasir sudah penuh semua, lantas aku melangkah melewati rak sekat yang tersusun toples-toples berisi biji-biji kopi. Tiga kursi di dekat jendela terisi semua. Meja jati besar, ramai oleh satu keluarga tiga generasi –kakek nenek, ayah ibu, dan anak cucu-. Sofa di balik sekat pun penuh. Lalu aku melihat, empat orang yang duduk di sudut kiri mulai membenahi barang-barang mereka dan beranjak.

Aku memilih duduk di sana, walaupun meja belum dibersihkan. Kupikir, daripada aku harus bergabung dengan para perokok di area merokok lainnya di dekat parkiran motor. Rokok dan kopi, sama sekali bukan hal yang kusukai. Namun, aku jatuh cinta pada kopi karena Dee Lestari menulis Filosofi Kopi. Bagiku saat itu tiba-tiba kopi menjadi menarik karena punya filosofi sendiri. Sayangnya, aku tetap memilih untuk tidak memesan kopi di sini. Kupanggil pramusaji untuk memesan.

“Mas, mau pesan. Thai milk tea yang dingin satu, sama Baked Rice-nya satu. Oia, mejanya tolong dibersihin juga, Mas. Makasih.”

Selama pramusaji tadi membersihkan meja, aku melempar pandangan ke sekeliling kafe. Lalu lalang pengunjung, rata-rata bersama pasangannya atau minimal teman. Ada juga yang bersama anak-anaknya yang masih bayi atau bersama Opa Oma yang memakai kursi roda. Rupanya tren kafe bukan lagi hanya milik anak muda, tapi keluarga. Ada kerinduan yang aneh ketika aku melihat keluarga-keluarga itu. Namun aku hanya bisa menikmatinya lewat apa yang aku lihat saat ini. Malam Minggu yang terasing.

Hai, Mi, sedang di mana ? Sebuah pesan masuk ke jendela obrolanku dari Juno, seorang yang baru kukenal beberapa hari dari proyek pekerjaanku. Aku mengernyitkan dahi, orang ini pasti tidak ada kerjaan, atau Malam Minggunya sendirian.

Kafe. Kujawab pendek pesan itu.

Di mana ? Sama siapa ? Haha, too much ask ya.

Di Kafe T. Sendirian. *grinning with smile*

Gue nyusul ya ?*

Sejak malam Minggu yang asing itu, aku punya hubungan aneh dengan Juno. Aku tidak mengerti apakah ini pertemanan atau relasi aneh antara dua orang yang sama-sama kosong. Setiap kali aku bicara dengan Juno, obrolan kami tak lebih dari filosofi-filosofi aneh kehidupan, absurd. Kami dekat tapi jauh. Kami kadang-kadang bersama tapi terpisah. Aku merasa sedang bermain, permainan apa, entahlah, aku tak akan berusaha mencari tahu.

“Nih, kopi lo.”Juno mengangsurkan gelas kertas ke mejaku.

“Aku gak ngopi, Jun. Dibilangin berapa kali sih, aku engga suka kopi.”tolakku.

“Iya, tau-tau. Cappuccino tuh, gue yang bikinin, spesial.”ucapnya sambil nyengir.

“Ok, thanks.”sahutku sambil berusaha duduk.

“Eh, kok duduk, ayo sarapan.”ujarnya sambil menarik tanganku.

Juno, sekalipun tak pernah menunggu jawaban. Dia tidak pernah peduli aku setuju atau tidak, suka atau tidak, Juno akan selalu melakukan yang dia inginkan. Sebenarnya, itu yang membuat dia menarik sekaligus menyebalkan.***

Herjuno

Beberapa hari belakangan ini, gue mulai merasa asing dengan diri sendiri. Entah mengapa, gue merasa kalau yang akhir-akhir ini gue lakukan itu “bukan gue banget”. Gue baru sadar sejak Kalina, pacar gue yang lima bulan tidak saling bertemu karena LDR, mengeluh, “Kamu kok beda banget sih sekarang ? Kamu gak lagi jatuh cinta sama orang lain ‘kan, Sayang ?”. Mendengar pertanyaan curiga Kalina, jelas gue menyangkal, walaupun dalam hati gue bertanya-tanya, apa gue jatuh cinta lagi ?

Hari-hari gue berubah sejak gue dipindahtugaskan ke Bandung, di Bandung gue bener-bener sendirian, tak ada teman, apalagi saudara. Saat itu, gue bertemu seorang cewek, rekan kerja gue di proyek baru di Bandung ini. Namanya Armia, entah mengapa saat itu namanya terasa begitu familiar, mudah diingat. Seingat gue, Armia bukan orang yang menonjol, walau dia selalu melakukan apapun sesuai caranya sendiri, tapi di mata gue, Armia berbeda. Ada kekosongan yang begitu dalam dalam senyuman tulusnya setiap kali. Kekosongan yang menarik gue untuk mendekat dan membuat gue berusaha mengisinya, pelan-pelan.*

Gue suka banget sama kopi, cinta mati. Gue bisa menyebutkan biji apa punya karakter apa, gue tahu dan mengerti macam-macam cara kopi diolah, pengolahan apa yang tepat untuk biji tertentu, ya, gue secinta mati itu. Gue selalu punya ritual untuk menikmati kopi kalau gue sedang merasa kesepian. Buat gue, kopi itu menenangkan, agak berlawanan sama fakta bahwa kafein itu membangkitkan semangat. Entahlah, buat gue yang kesepian, secangkir kopi pahit itu menyenangkan, menenangkan hati untuk tahu bahwa ada pahit di setiap kesenangan hidup.

Namun, Armia gak begitu. Dia anti kopi, baginya kopi itu terlalu pahit untuk hidup yang sudah pahit. Bahkan ketika gue menyusulnya ke kafe hari itu, gue dapati dia sedang menikmati segelas Thai Tea dingin. Gue gak percaya yang gue lihat saat itu, mana ada orang yang sendirian di tempat kopi tapi malah memesan teh campur yang bisa dibeli di kedai-kedai minuman kekinian, kedai teh campur. Saat itu, rasanya gue ingin mencekoki segelas kopi kepadanya.

Jun, nih, kamu lihat, aku sekarang udah bisa minum kopi lho !, Armia tiba-tiba mengirimi pesan
beserta foto secangkir kopi hitam, jernih. Mungkin Kalita atau V60.

Wah, salut. Beans apa, Mi ?, gue balik bertanya sambil mengira-ngira dengan siapa Armia di kedai kopi itu.

Toraja. Favorit aku sekarang nih. V60 ternyata enak ya, gak pait-pait amat. Fruity lah kalau bijinya tepat.

Di mana, Mi ? Kayaknya enak. Tiba-tiba gue merasa ada perasaan aneh yang sangat tidak nyaman, gue rasa gue cemburu.

Di Kopi Mang Alit, Jun. Sini, aku lagi sama Dean.

Dean, tentu saja. Partner minum kopi gue selama di Bandung ini. Seharusnya gue ngerti maksud dia bertanya soal Mia itu ada ujungnya. Harusnya gue gak ambil pusing karena toh, gue punya Kalina. Kalina yang tidak tahu apa-apa soal hati. Kalina yang percaya dan masih mencintai. Maafin gue, Sayang. Gue kemudian men-dial nomor Kalina dengan sebelumnya menghapus jendela obrolan dengan Armia.***

“Ngopi yuk, bertiga.”celetuk Armia pada Juno dan Dean.

“Yuk, naik mobil gue aja. Lo lagi kosong kan, Jun ?”Dean bertanya sambil menyikut pelan, memberi kode bahwa Juno harus ikut. Juno akhirnya mengangguk dan menjawab lirih, menyetujui.

Di sepanjang perjalanan, Juno terdiam miris di kursi penumpang. Kepalanya dipenuhi banyak pengandaian. Andai tak harus bertemu orang yang tepat di waktu yang salah, andai tak harus menyakiti untuk memilih hati, andai… ah! Kopi sore itu menjadi kopi dengan citarasa paling berbeda yang pernah diminum Juno seumur hidupnya. Toraja V60 kali itu menciptakan rasa pedih, kelu di lidahnya yang membisu semenjak menyadari siapa dia dalam kehidupan Armia, bukan siapa-siapa.*

Armia

Aku menatap Jun dengan tatapan meminta maaf, entah Jun sadar atau tidak, tapi kuperhatikan sejak kami bertiga tiba di sini, Jun tampak lesu. Jun bukan seperti yang kukenal, selalu berapi-api menceritakan kopi. Hari ini, Dean yang begitu. Dean sahabat Jun, yang kusadari punya maksud lain daripada sekedar memperkenalkan kopi kepadaku. Dean yang lebih menyenangkan karena tidak membuatku mendapatkan terror dari kekasih yang tak pernah disebutkan Jun sejak awal perkenalan kami.

“Kita seperti lebih dari teman, wajar jika pacarku marah.” ucap Jun ketika aku bertanya mengapa ada perempuan tak dikenal mengirimiku pesan begitu kasarnya.

Aku tidak mengerti kamu, Jun. Tapi, aku tahu aku tidak boleh bermimpi memiliki hak orang lain dan aku akan belajar begitu. Belajar merelakanmu yang esok hari akan bertunangan. Belajar menahan cemburu pada khayalanku. Sore ini, kita bertiga akan menjadi kekal, sebagai sahabat. Bukan orang-orang yang saling mencintai, sebelah hati.

Bagaimanapun aku tahu, kita pernah memiliki perasaan yang sama, Jun. Bagaimanapun, kita harus tahu diri untuk melepaskan secangkir hati masing-masing, untuk mereka yang lebih berhak. Dan aku tahu, genggamanmu kali ini adalah yang terakhir, adalah salam perpisahan, sebelum esok kamu meminang Kalina. Aku ikut bahagia meskipun kecewa atas harapan-harapan yang kubuat terlalu tinggi. Rupanya, hidup memang seperti kopi, pahit dan asam, namun selalu bisa kau nikmati.***

Bandung, 21/08/16 (23.56)


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Jumat, 22 April 2016

THE FOOL



Perasaan ini tidak nyaman. Aku yakin pada suatu hari perasaan ini harus kuungkapkan, aku keluarkan hanya agar aku tidak kehilangan diriku yang dulu, yang entah bagaimana selalu mampu memaafkanmu. Jadi dari 366 hari di tahun kabisat ini, kupilih satu hari tertentu. Hari spesial semestaku, hari di mana segalanya tentang aku, hari ulang tahun keramatku. Kupilih hari bahagia untuk menuliskan perasaan tidak nyamanku tentang kamu, tidak perlu menyangkal atau bersikap terlalu banyak tahu.

Aku tak akan pernah lupa malam itu, jika kau ingin aku begitu menelusuri ingatanku, hari di mana secangkir honey latte-ku rasanya pahit empedu. Sebenarnya itu bukan kali pertamamu melukaiku, namun itu akan menjadi kali terakhir kamu kuizinkan melukaiku. Sebelumnya, setiap kali kuizinkan kamu melukaiku, aku akan memaafkanmu setelahnya. Dan aku benar-benar selalu memaafkaanmu. Hanya saja aku menjadi mudah waspada pada lakumu, aku menjadi tidak mudah percaya kata-kata manismu. Bagiku manismu empedu.

Malam itu seperti malam sebelumnya, seperti biasanya ritual kecil yang selalu kita lakukan, bertiga. Bukan aku buta atas semua yang telah dan tengah terjadi dengan kamu dan dia. Mataku tidak buta, hatiku jauh lebih peka merasa. Aku wanita dengan segudang cerita jatuh cinta dan patah hati. Tapi, kuyakinkan sendiri diriku bahwa bahkan atas nama cintamu dan dia, ritual kecil kebersamaan kita ini tak akan mengganggu, aku tak akan jadi benalu.

Lampu pijar berpendar-pendar cantik, hujan romantis di luar ruangan, dan alunan musik Banda Neira tentang Pelukis Langit yang lari terburu-buru. Aku tahu suasana itu, aku tahu yang biasa yang kamu lakukan dengan suasana itu, aku mengenalmu lewat kebiasaanmu, membaca gerak-gerikmu. Aku tahu kamu akan menggenggam tangannya dan aku tidak (pernah) berkomentar karena kupikir itu membahagiakannya. Karena kamu bahagia, karena kalian bahagia. Aku bahagia karena kalian semua berbahagia.

Lantas, tak terbersit pun dalam pikirku kamu akan bertanya dengan pongahnya. Mengecilkan aku setelah aku bahkan meniadakan diri. Setelah aku berusaha tidak peduli, percaya bahwa kamu seperti teman-teman baikku yang lainnya dulu. Jika bahkan ketiadaanku selama ini kurang untukmu sehingga harus kamu membuatku menjadi nyamuk, aku terima. Aku akan menjadi nyamuk yang menghindari petisida yang membuatku muak. Aku akan pergi ke mana pun ke tempat tanpa petisida. Sekalipun harus berada dalam udara petisida, aku akan menggunakan topeng tebalku untuk bernapas. Untuk sekedar tersenyum, untukmu. Agar dia bahagia. Maaf aku juga menyayangi dia, lebih dari kamu. Aku yakin itu.

Kamu, jangan lupa setiap kuizinkan kamu melukaiku, aku tidak memberikanmu kesempatan. Aku menciptakannya. Aku menciptakannya untuk dia yang memberikannya untukmu. Kamu lupa ritual kita yang lainnya, ketika malam itu aku untuk kesekian ratus kalinya berharap tidak berada di tempat yang sama untuk mengganggumu bersama dia. Aku selalu berharap aku bukan jarak yang menjauhkan kamu dan dia. Aku selalu berusaha dengan segala macam upaya, untukmu dan dia. Kamu tahu ?

Malam kesempatan itu kemudian kulupakan, hingga malam lainnya tiba. Malam yang menyadarkan aku bagai orang dungu mengharap bulan. Aku lah jarakmu dan dia, aku yang terlalu naif dan tak tahu apa-apa tentang dua hati yang sibuk memberiku tempat. Kalau boleh jujur, ah tidak, aku selalu jujur... Dan rasanya menyakitkan sekali. Aku tidak lagi bisa memaafkanmu kali ini, aku tidak mampu. Setitik yang kenangan yang kamu ciptakan malam itu membuatku bisu, selama beberapa hari. Dan aku terbangun dari kedunguanku sambil menyertakan doa, semoga kamu dan dia bersama, tanpa jarak yang harus diberi tempat. Kemudian aku, si dungu yang naif ini tahu apa yang harus aku lakukan. Doaku pendek dan tidak menyakitkan (aku jamin, doaku tidak akan melukai siapapun). Doaku dikabulkan. Aku masih bisa menyayangi dia meski aku sadar, jauh di dalam, dia milikmu. Dan aku melepaskanmu, melupakan, tapi urung memaafkan. Untuk itu, aku minta maaf. Semoga selalu kamu membahagiakan dia, semoga dia selalu bahagia. Aamiin.


(argowilis gerbong 4, 21/04/2016, 15:18, setelah kutoarjo dan pengumuman stase 3)

Minggu, 14 Juni 2015

Aku Bisa (?)

Aku bisa mencintaimu dengan segala cara. Aku bisa membuat diri seperti yang kau pinta. Aku bisa membuatmu mencintai aku ketika kita saling sapa. Ketika temu yang kadang-kadang menjadi selalu ada. Ketika air matamu kugantikan tawa. Aku bisa.

Tapi tahukah kamu kalau cinta butuh yang lainnya ? Cinta butuh keberanian untuk deklarasi nyata. Bukan isyarat-isyarat semata. Bukan cuma seandainya. Bukan hanya keyakinan bahwa aku bisa.

Aku tidak bisa mencintaimu tanpa seandainya. Aku tidak bisa menyatakan cinta. Aku hanya melulu mengirimimu isyarat-isyarat lewat semesta. Entah bagaimana kau mengartikannya. Entah seperti apa kau mencerna satu frase "Aku cinta" dari lakuku yang ambigu tak ter-terka.

Bandung, kamar gelap dan bulan tanpa huruf 'R'.
14062015 - 22.34
.haloperidolorazepam dan hexy. ☺

Minggu, 03 Mei 2015

cul de sac


ada yang mendesak
dalam dada ia sesak
lalu pelan-pelan mengoyak
hingga luruh seluruh terkoyak

langkah mundur sekian kaki
mengelak luka menyerabuti hati
diam-diam membunuhi mimpi
satu dua hingga tak terhitung lagi

di ujung jalan berdinding tegak
pijak yang ditapaki meretak
langit bebas mengurung telak
bahkan pretensi mudah tertebak.

...skak mat.

.aR.
03052015 . 19:15

Jumat, 27 Februari 2015

BAHU



Hujan yang turun sore hari di kota asing ini membuatku merindukanmu. Tiba-tiba kelebatan bayanganmu terus hadir di kepalaku. Ketidakberadaanmu membuatku menyadari, betapa sunyi menjadi seorang diri. Meski aku bersama Ia sekarang ini, meski Ia memiliki aku saat ini. Namun, semuanya tak sama tanpa Kamu untuk berbagi, tanpa bahumu untuk kusandari.

 Mungkin Tuhan tak sengaja mempertemukan kita, mungkin kita yang keliru

Sabtu, 13 Desember 2014

Tentang Gadis yang Menikahi Kesunyian (Namun Disunting Kesepian)

Gadis yang menikahi Kesunyian, namun disunting Kesepian (sumber)

Tidak ada seorangpun yang pernah mengerti tentang kesepian. Pun begitu saya. Apalagi mereka. Terutama kamu. Sama seperti mereka, mungkin kamu berpikir betapa beruntungnya saya.

Jumat, 28 November 2014

GELOSO

Goloso Geloso

Aku bingung dengan hati yang mempermainkan. Membiarkan aku merasakan yang tidak dibolehkan. Begitu permisifnya memberikan  harapan tentang hati  lain yang diam-diam ingin kusimpan. Kemudian dalam senyapnya bisikan aku ditikam pelan-pelan. Asa yang melambung tinggi segera dijatuhkan. Senyuman lalu lelap oleh tangisan. Aku bingung dengan pikir yang menyetujui siksaan.

Sungguh sadar aku tahu ini keliru. Pinta-pinta itu hanya akan menjadi maya palsu. Genggamanku sudah penuh oleh sebuah hati yg menunggu. Tapi aku tak ingin mengambil peduliku. Aku bosan dengan aturan-aturan yang mengikatku. Lalu kubebaskan nyata dan kurenggut paksa mimpi semu. Kubiarkan aku meniti rasa asing, penuh tipu, riskan serta banyak cemburu.***

28November2014.11:04
#di-tengah-kodet&metkuan