Jumat, 21 Desember 2012

My Salad Days

inspired by this book :)

l
and this manga :)

"Salad days" is an idiomatic expression, referring to a youthful time, accompanied by the inexperience, enthusiasm, idealism, innocence, or indiscretion that one associates with a young person. More modern use, especially in the United States, refers to a person's heyday when somebody was at the peak of his/her abilities—not necessarily in that person's youth. –Wikipedia.

"...My salad days, / When I was green in judgment, cold in blood..." –The phrase was coined in Shakespeare's Antony and Cleopatra in 1606.


®®®


Hari itu adalah hari kesekian aku masuk SMP. Meski sudah bukan masa orientasi siswa lagi, tetapi masih banyak anak kelas satu yang memakai pakaian SD. Karena memang (katanya) setelah masa orientasi siswa seragam yang sudah diukur dan dibuatkan untuk siswa akan segera selesai. Katanya. Nyatanya, sudah hampir sebulan, seragamnya belum jadi juga. Beberapa siswa kelas satu ada yang tidak sabar dan memilih membeli pakaian seragam sendiri. Sebenarnya aku ingin juga seperti mereka, tapi… .

“Eh…,”lamunanku buyar, seseorang berjalan menabrakku dan berlalu begitu saja. Dasar tidak sopan ! Kalau bukan karena tubuhnya yang lebih besar, aku akan menjitak kepala orang itu. Meskipun aku perempuan,
tapi karena terdampar di SD Inpres di tengah perkampungan, aku jadi berani adu otot, sekalipun melawan anak laki-laki. Mungkin karena anak-anak lelaki di SD-ku ukuran tubuhnya relatif lebih mini daripada anak-anak lelaki di sekolah baruku ini. Sebuah SMP favorit di tengah kota Bandung.***

Langkah angkuhnya menyusuri lorong sekolah masih dapat kuingat. Tanpa permisi, meminta orang-orang minggir dari jalan yang dilewatinya dengan pongahnya gelagat. Seragam putih merah terlihat lucu untuk tubuhnya yang tinggi –dan besar. Cara berpakaiannya yang serampangan dan slengean membuatnya terlihat seperti anak SD tua yang kesasar.

Hari ini, aku berangkat sekolah dengan lebih gembira dari biasanya. Soalnya, aku sudah berseragam putih-biru. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli sendiri ketimbang menunggu seragam dari sekolah yang entah kapan jadinya. Rok merahku sudah semakin tinggi di atas lutut. Rasanya tidak lucu membiarkan badanku yang, ehm, berisi, pakai yang mini-mini.

Di sekolah, Fitri, sudah menungguku. Rencananya aku akan disuruh jadi mak comblang-nya untuk menembak cowok. Ah ya, masa-masa SMP. Masa-masa di mana anak kecil sudah merasa (setengah) dewasa dan coba-coba berpacaran. Senandung masa puber. Dan bodohnya aku menurut saja apa-apa yang disuruh Fitri, padahal aku belum hapal dan belum bisa membedakan wajah teman-temanku, selain teman sekelas.

“Nanti kamu panggil Reza ke atas, aku tunggu di sana. Pas Reza di sana, kamu nyanyi lagunya Padi yang terbaru,”jelas Fitri.

“Lagu apa ? Aku mesti nyanyi, gitu ?”untuk ukuran seorang cewek yang masuk masa pubertas aku memang tidak keren-keren amat. Selain karena lebih banyak main layangan dan sepeda waktu SD, aku cuma tahu lagu SO7 karena teman SD-ku dulu suka sama SO7.

Dan hari itu berjalan lancar untukku, meski kemudian aku tidak menyanyi. Sayangnya, tidak sebegitu lancar buat Fitri karena ternyata dia menembak cowok yang… bahkan tidak mengenalnya. Alhasil, ditolak langsung.

Entah mengapa semenjak hari itu, aku jadi selalu terlibat urusan cinta orang. Dari membuatkan pesanan puisi, sekadar konsultasi cinta, atau sampai minta dicomblangin. Padahal, kalau dipikir-pikir aneh. Aku ini bahkan tidak berminat sekali sama hal-hal seperti itu. Aku juga bolak-balik nanyain, emangnya pacaran itu apa ? Emang kalau pacaran ngapain ? Mengingat aku lebih sering bergaul sama cowok-cowok, menurutku pacaran atau tidak itu tidak ada bedanya.

®®®

Kelas dua sepertinya tidak menyenangkan. Karena di hari pembagian kelas aku mendapati bahwa aku sekelas dengan anak-anak gangsta-nya angkatanku. Sekelas dengan beberapa teman waktu kelas satu sih, tapi beberapa sahabatku malah berpencar. Sekelas juga dengan si Songong. Duh!

Suasana kelas di hari pertama sudah tidak asik. Selain karena sebagian besar siswa tahu kalau anak-anak gangsta-nya itu kejam-kejam, suka ngegencet (walaupun aku juga ngga ngerti kalau digencet itu diapain), siswa-siswa lain juga malas berurusan dengan gangsta. Aku dan teman sebangkuku, Dessy, diam saja di kursi paling belakang. Mengamati seluruh kelas yang terlihat seperti… “Setahun di sini ? Welcome to the jungle.”

Hal yang paling mengerikan adalah setiap kali pembagian kelompok. Sepertinya anak-anak gangsta itu sudah dikenali guru. Jadilah setiap kali ada pembagian kelompok, kita tidak diizinkan memilih kelompok sendiri. Karena pada akhirnya aka nada blok-blok seperti : anak gangsta cewek, anak gangsta cowok (si Songong masuk sini), anak-anak pintar, anak-anak biasa saja (aku di sini). Dan sewaktu pembagian kelompok, separuh anak biasa-biasa saja digabung dengan gangsta cewe. Nightmare ! Memang sih, tidak semua dari mereka sejahat itu. Satu-dua orangnya masih baik dan mau ngobrol sama yang biasa-biasa saja. Tapi cuma satu-dua.

Mau tahu, apa yang lebih nightmare lagi ? Tahu-tahu saja, si Songong –oke namanya Er- pindah ke kelompokku. Meskipun tidak terlalu mengenalnya, aku malaaaaaaaaaaas sekali berurusan dengan dia. Selain karena memang tidak suka sifat angkuhnya, dia juga menjadi sasaran tembak terbanyak dan aku sebagai mak comblang selalu mengecewakan klien-ku setiap kali sasarannya dia. Huh.

®®®

Suatu sore di rumah Ami…

“Mana nih, Mi… Ketuanya kok ngga datang-datang,”keluh teman-teman sekelompokku.

“Udah nunjuk diri jadi ketua, malah ngga bertanggung jawab,”gerutuku.

“Udah yuk, keburu Maghrib, kita kerjain aja seginian. Gak usah ngarepin cewek-cewek gangsta itu dateng, apalagi ketuanya,”celetukku.

Akhirnya kami membagi tugas masing-masing, mengerjakan ini-itu. Sejam kemudian…

“Nah, itu dia orangnya !”ujar Ami yang berlari menuruni tangga setelah mendengar motor berhenti di halaman rumahnya.

“Datang jam segini, buat apa?”keluhku.

Ngomong-ngomong, saat itu, Er mau dijodohkan dengan teman sekelompokku, Yuni. Entah kenapa –aku juga lupa sebabnya-, maka itu, Yuni ditugaskan jadi sekretaris. Teman-temanku ini, masih saja banyaaaaak yang suka sama Er, I don’t know why and don’t want to know why.

“Sorry, temen-temen aku telat,”ujarnya sambil cengengesan.

“Sejam lagi aku harus balik nih, yok kerjain tugasnya,”sambungnya.

“Baru dateng, jam segini lagi, udah ngomongin pulang. Gausah dateng aja sekalian.”celetukku.

“Habis gimana, aku kan kerja dulu di bengkel, kalau ngga, aku ngga dapat uang saku. Kalian sih enak,”ujarnya.

Er lalu bercerita –sambil mengerjakan tugas- kalau dia harus kerja di bengkel milik ayahnya sejak SD. Bahwa dia sudah bisa mengendarai mobil (dan motor?) sejak kelas 4 SD. Bahwa sebagai anak pertama dia harus memikul tanggung jawab seperti itu, apalagi dia separuh Tionghoa. Seperti yang aku tahu sih, orang-orang Tionghoa disiplin mendidik anaknya, makanya kalau punya teman orang Tionghoa kebanyakan mereka hebat-hebat. Tapi cerita sebagus apapun, tidak akan meluruhkan ketidaksukaanku pada Er, tidak akan.

®®®

Akhirnya, kelas tiga juga. Aku senang sekali mimpi buruk setahun kemarin selesai, meskipun nilai merah di raporku ada dua. Di kelas tiga, aku sekelas bersama sahabatku di kelas dua, Rani. Dan tidak ada pengacau-pengacau di kelasku. Rasanya senang sekali. Seperti diberikan kehidupan baru.
Baru saja bersyukur seperti itu, seseorang masuk kelas di saat perkenalan dengan wali kelas. Astaga, itu Er ! Padahal dia kan tidak terdaftar dalam kelas ini. Aku yakin sekali, karena sudah memeriksa absennya berkali-kali.

“Mau apa, Er ?”tanya wali kelasku, Bu Dewi.

“Mau pindah ke kelas ini, Bu,”ujarnya santai.

“Jangaaan…”kataku refleks. Sontak satu kelas melirikku, terutama si Songong itu dengan juteknya.

“Coba kamu lapor sama pengurus absen, siapa tahu absennya belum di cetak,”ujar wali kelasku.

“Kenapa sih, Ran, aku tuh sial melulu ? Kenapa ketemu tuh orang melulu ? Gimana kalau nanti sekelompok lagi ?”keluhku pada Rani.

“Jodoh kali,”Rani menjawab enteng. Seketika itu juga kujitak kepalanya.

“Apaan, kenal juga kagak,”dengusku.

And guess what ? Sepanjang awal semester, aku selalu sekelompok dengan dia. SELALU. SETIAP KELOMPOK. Duduk ketika ujian harian, hampir selalu berdekatan. Si tukang nyontek itu. Kursi di kelas ? Juga iya. Arrrggghhh. ***

Suatu hari, saat kumpul kelompok Bahasa Indonesia, Er ribuuuut sekali. Tidak tahan, aku menegurnya dengan setengah membentak. Belum ada yang berani begitu. Lalu dia diam, menatapku, marah sepertinya. Entahlah.

“Kenapa sih, kamu ngga suka banget sama aku ?”tanyanya.

“Kamu berisik, dapat peran utama buat drama bukannya ngapalin malah ganggu yang lain. Aku tuh tau beberapa hal tentang kamu, kaya… kamu pernah bikin pingsan temen cewekmu pas SD ‘kan?”

Dia lalu menarik aku menjauh dari kelompok. Jujur aku takut, kalah tenaga pasti kalau berantem. Secara, dia tae kwon do dari SD.

“Ssssttt, diam. Tau dari mana ? Pasti dari Santi –Santi adalah teman sekelasku di kelas satu, sekaligus teman Er di SD, sekaligus sasaran tembak Santi yang metolak mentah-mentah-. Kamu kan ngga tau ceritanya gimana.”celetuknya setengah berbisik.

“Mau alasannya apa juga ga peduli,”kataku.

“Dia tuh suka sama aku, nempel-nempel terus. Males,”ceritanya tanpa disuruh.

Kepedean banget ! Walaupun aku tau dia jadi sasaran tembak terfavorit yang tak pernah berhasil. Walaupun aku tau, mantan pacarnya banyak banget di sekolah ini dan terkenal playboy. Bodo amat.

Aku cuma angkat bahu mendengar ceritanya. Lalu kembali ke dalam kelompok. Semenjak saat itu, aku tidak begitu peduli mau Er sekelompok denganku atau tidak, mau dia ngeganggu atau ngga. Bodo amat, paling kalau lagi bĂȘte kujahili lewat sms.***

Hari ini sekolahku studi lapangan ke Waduk Saguling. Aku sebenarnya paling malas urusan pergi-pergi sama sekolah, tapi karena wajib aku ikut. Dengan enggan aku mengepak barang bawaanku. Perasaanku tidak enak sejak dua hari kemarin, paska mimpi aneh. Di dalam mimpiku itu aku bertemu Er, melihat rumahnya dan ngobrol dengannya. Itu anehnya. Aku tidak pernah bersapa, mengobrol, kecuali bertengkar dengan dia. Mimpi itu aneh sekali, suasana anehnya terbawa sampai aku bangun tidur dan hari-hari setelahnya.

Aku tiba-tiba enggan sama sekali mengurusi Er, sebisa mungkin aku menghindari kontak dengannya. Aku berhenti menjahilinya lewat sms, berhenti ketus dan memperlakukan dia selayaknya teman-teman yang lain. Entahlah. Ada rasa tidak enak ketika aku berhadapan dengan Er. Rasanya aneh, tidak biasa, dan membuatku seperti orang bodoh. Aku tak tahu apa itu, tapi rasanya aku cukup menikmati perasaan aneh itu. Eh, tunggu dulu…

“Ran, aku mau pengakuan dosa nih,”ujarku pada Rani di dalam angkot.

“Apa ?”sahutnya.

“Kayaknya… aku suka sama Er,”bisikku.

“Hah?! Apa?!”teriak Rani, lalu dia mulai tertawa, keras, di dalam angkot sarat penumpang.
Damn me, kenapa gue mesti bilaaaaaaaaang. Kan diketawain.

“Jahat banget kamu, Ran, malah diketawain. Bantuin kek, gimana kek,”ujarku berkaca-kaca sakiiing malunya –diketawain di angkot-

“Abis lucu sih, akhirnyaaaa. Kualat juga. Hahaha,”katanya melanjutkan tertawa.***

“Tyara, pinjem komik,”kata anak-anak cowok cengengesan.

“Tapi, ini komik cewek lho!”kataku.

“Iya, ngga apa-apa,”dan mereka langsung merebut komik-komik Saladdays itu dariku.

Dulu, yang punya HP belum semua, internetan jarang, jejaring sosial belum kenal. Jadi, cara nge-galau paling keren ya baca komik. Kebetulan, di belakang sekolah ada tempat peminjaman komik. Ngga tanggung-tanggung, sekali pinjam biasanya 14 biji. Kebanyakan pinjam serial misteri dan Saladdays karena gambarnya bagus, ceritanya keren –standar drama-drama korea kalau sekarang mah-. Meskipun kadang covernya ngga banget, keliatannya kaya komik apaan gitu dengan cewek berbaju renang.

Selesai membaca, biasanya cowok-cowok yang mikir ini komik vulgar, mukanya pada mellow semua. Bahkan salah satu teman yang orang Batak –maksudnya, orang Batak kan biasanya tegar, macho- malah sampai berkaca-kaca baca komik ini dan berakhir dengan minta satu komik lagi.

“Baca Saladdays juga ya ?”tanya Er.

“Iya, kenapa, mau pinjem ?”ujarku sebiasa mungkin.

“Adikku koleksi tuh yang begituan, lengkap dari awal sampai terbitan terakhir ada. Mau ?”
Tumben banget nih orang nawarin. Tapi sebelum sempet mikir, mulut udah bilang, “Mau.”

Jadilah, semenjak itu aku dan Er agak akur, meskipun kalau di sekolah lebih sering saling diam. Ternyata, Er minta jasa konsultasi aku buat balikkan sama mantannya. What a…, “Oke aku bantuin.”. Rasanya susaaaaaaaaah banget nolaknya. Udah gitu, udah dibantuin si mantannya malah marah-marah ke aku. Sudah jatuh, tertimpa tangga.

“Udah deh, Ra, gausah diterusin jadi konsultannya si Er,”kata Rani prihatin.

“Tapi gimana, aku udah janji. Tapi nanti aku coba deh jauhin dia, kalau aku udah berhasil bikin mereka balikkan.”and I did it. Aku berhasil bikin mereka balikkan. Sesuai janjiku setelah itu aku menghilang dari kehidupan Er. Menghindar sebisa aku, menghilang semampu aku.***

Suatu hari, Er mencegatku…

“Kenapa sih, Ra, ngehindar terus ? Ada yang salah sama aku ? Keliatan banget tau ngga ngehindarinnya,”

“Gak ada apa-apa,”ujarku.

“Sms ngga dibalas ?”tanyanya lagi.

“Pulsaku habis,”

“Biasanya juga balas pakai HP papamu,”sahutnya.

“Suka-suka aku dong. Kan aku udah bikin kamu balikkan, yaudah, apalagi ?!”sahutku meloyor pergi.

“Temenmu kenapa sih, Ran, aneh banget belakangan ini,”Er menghampiri Rani saat aku berkumpul untuk membagikan komik ke cowok-cowok lain.

“Bagus dong, udah jarang berantem sama kamu,”

“Iya sih, tapi aneh aja,”kata Er sambil beranjak pergi.

“Ngomong apa dia, Ran ?”

“Masih mau tau ya?”tanya Rani.

“Gak juga sih, ya kalau ngga ada hubungannya sih gapapa,”

“Katanya kamu aneh,”ujar Rani angkat bahu. Aku hanya balas angkat bahu.

®®®

“Aku putus,”ceritanya padaku via telepon. Sebelumnya dia sms minta maaf dan minta teleponnya diangkat.

“Kok gitu ? Usahaku selama ini sia-sia dong ?!”ujarku tak terima.

“Aku suka sama orang lain,”ceritanya tanpa diminta.

“Mau minta bantuan lagi ?”tanyaku pasrah.

“Nanti saja, belum butuh,”ujarnya.***

Suatu kali, di hari pemantapan sekolah. –pemantapan itu tambahan belajar untuk siswa kelas tiga-

“Pinjam komikmu!”ujar Er tiba-tiba. Dia lalu menyelipkan sesuatu di sana. Aku tidak membukanya sampai aku masuk ke kelas pemantapan.

“Orangnya kamu, nanti pulang pemantapan, ditunggu di gerbang,”begitu tulisan di kertas itu.
Aku hanya terkekeh membacanya, bukan sekali dua kali Er bercanda begitu dengan cewek. Jadi aku abaikan saja. Sampai dia meng-SMS.

“Jadi ?”tulisnya.

“Jadi apa ?”balasku.

“Udah baca belum sih?”tanyanya.

“Udah. Udahlah gausah bercanda, keterlaluan tau. Untung ke aku bercandanya,”jawabku.

“Itu beneran ! Pokoknya pulang pemantapan di gerbang. Ok,”dan aku tak membalas lagi.
HAAAH? Beneran? Ya ampun, mana Rani? Eh, tapi kalau cerita nanti sekelas tau, malu!

Pulangnya gimana, gamau ketemu! Ditembak di depan satu sekolah?! Mending jadi mak comblang yang nembak-in orang depan satu sekolah. Arrgh.
Sepanjang sisa hari itu aku diam saja. Tidak konsentrasi di kelas pemantapan, memikirkan untuk kabur pulang tanpa lewat gerbang depan dan ngga bareng Rani. Mikirin kabur lewat jalan belakang yang banyak anjing besar.

Bel pulang terdengar begitu menakutkan, aku memilih pulang belakangan supaya bisa kabur lewat jalan belakang saat anak-anak yang lain lewat gerbang depan. Tapi sepertinya tidak berhasil. Saat aku mengendap-ngendap –dari anjing-anjing sebenarnya- seseorang memanggilku. Er. Aku menghela napas dan berbalik.

“Mau ke mana ?”katanya sambil nyengir. –tamat-
®®®

Tidak ada komentar: