Minggu, 29 April 2012

CICAK

cicak di dindingmu 

 Aku benci cicak. Setiap kali kulihat hewan melata itu di samping jam dinding yang berdetak, yang kupikirkan hanyalah bagaimana cara mengusirnya dari sana. Entah mengapa, aku bergidik setiap kali melihat hewan pemakan nyamuk itu mampir di dinding kamarku. Namun semakin lama, tampaknya aku semakin terbiasa dengan kehadiran reptil kecil itu. Kadang-kadang malah aku merindukanmu, rindu pembicaraan kita tentang cicak di dinding.***


 Aku benci kepada lelaki yang bicara kosong. Berjanji seenaknya lalu meninggalkan hati yang melompong. Tapi, aku lebih benci lagi kepada lelaki yang tak pernah bicara tentang harapan. Seakan-akan hari yang dihabiskan hanya untuk dilupakan. Tapi aku tak pernah membencimu, sekalipun kamu pernah menjadi keduanya. Sekalipun sebenarnya aku ingin membencimu.

 Aku belum bisa lupa meski berusaha, bagaimana angan-angan kita. Banyak yang akan kita susun bersama jika Tuhan mengizinkannya. Banyak impian yang harus dimimpikan setiap malam tiba. Segalanya tentang kita. Semuanya tentang janji bersama. Seluruhnya tentang menjadikan harapan nyata, entah bagaimana cara.

 Sementara, Tuhan Maha Pengatur Segala ingin hal yang sedikit berbeda. DIA memberikan banyak ujian yang membuat jarak kebersamaan kita semakin tiada. Tak terhitung pertengkaran yang ada. Tak terhitung air mata. Tak terhitung segalanya. Aku sakit, kamu juga. Lama-lama kata “kita” semakin meniadakan dirinya. Ah, mengapa ?

Kunci utama dalam sebuah hubungan adalah saling percaya, katanya. Tapi kita tidak punya. Akhirnya jarak menang mutlak atas kita. Meniadakan apa-apa yang kita saling percaya. Ehm, ajari aku bagaimana untuk percaya padamu, ketika seorang gadis sempurna datang kepadaku dan tahu lebih banyak tentangmu dibanding ibumu. Ajari aku bagaimana untuk percaya kalau selorohanmu untuk mendua adalah cuma bercanda. Karena aku tahu, kamu tidak pernah bisa berbohong dengan kata-kata. Aku tidak pernah bisa berbohong dengan air mata.

Lalu kamu bicara sesuatu. Bercerita tentang cicak di dinding dalam Rectoverso.* Aku menghapus air mata untuk ke sekian kali, berusaha untuk memahami dan mempercayaimu. Kamu bilang bagaimana inginnya kamu menjadi seekor cicak di dinding biru kamarku. Melihat apa-apa yang kulakukan tanpamu, menungguiku hingga terlelap sampai pagi tiba. Aku percaya. Jadi, setiap kali kulihat seekor cicak di dinding kamar, aku akan membayangkan kalau itu kamu.***

 Sepaket benda datang padaku hari ini, tepat di hari ulang tahunku. Kukira itu hadiah darimu meski sekarang kita tak bersama lagi. Kubuka dengan penuh terka, menyiapkan hati untuk isi kadomu. Menurut filosofi yang kubaca, kenal seseorang itu seperti membuka kado, kadang suka isinya dan kadang tidak.** Kuharap aku tidak terlalu kecewa kalau ternyata kadomu tidak kusuka. Paling tidak, kamu masih ingat ulang tahunku.

 Sepaket benda itu isinya hanya buku. Ah, ternyata kamu tidak pernah lupa buku kumpulan cerita motivasi koleksiku. Ketika kuambil buku itu, sesuatu terasa mengganjal di sana. Buku itu terbuka dengan amplop di tengahnya. Kuterka itu kartu ucapan selamat. Sebelum sempat membuka amplop itu, aku tertegun pada sebaris kata di salah satu halaman buku, “Jangan cemberut, kamu tak pernah tahu siapa yang akan jatuh cinta pada senyumanmu.”, aku tersenyum saja, mengingat puluhan bahkan mungkin ratusan kali kamu telah mengatakannya.

Segaris senyumku tiba-tiba lenyap ketika aku membuka amplop darimu. Ternyata, kamu lupa ulang tahunku. Ternyata ini bukan hadiah ulang tahunku. Ternyata, Tuhan menghadiahimu lebih dulu. Kamu menemukan perhentian cerita, memang bukan dia yang kukira sempurna. Tapi yang lainnya, yang memang sangat sempurna buatmu. Angka sepuluh dari kisaran sepuluh. Mau tidak mau pelupukku terisi, kuseka sebelum terlanjur tumpah dan kulanjutkan tersenyum seperti katamu.***

Sampai hari ini aku masih benci cicak meski selalu membiarkannya memandangiku. Dan tetap tak bisa membencimu sekalipun cicak mengingatkanku padamu. Mungkin kamu sudah lupa cerita cicak di dinding ini. Tapi, jika suatu malam kamu melihat cicak di dindingmu, boleh jadi itu aku. Aku yang merindukan detik-detik masa dulu. Aku yang tetap tersenyum dan bahagia melihatmu dengannya. Aku yang hanya ingin tahu, bagaimana rasanya jadi cicak di dindingmu. Berdiam bisu, sementara ceritamu punya pelabuhan baru.#tamat#

 29April2012. oo.o4 wib

*Rectoverso : buku kumpulan cerpen dan lagu Dee Lestari.
**kutipan kata-kata tokoh Raka dalam teenlit Cintapuccino.

 #kado untuk tiara. katakata karena ada cicak di dinding kamar. rangkuman cecurhat orang-orang. dan untuk inspirasi yang menggenapkan rangkaian stimuli dalam otak.

4 komentar:

Inzacky mengatakan...

Ini mah bukan cicak-cicak di dinding :d, tapi cicak-cicak di hati :p #eaaaa.

puteri hujan mengatakan...

wew ah, ternyata udah ada yg komen aja. :))
*ini fiksi loh yah, Kaaaak. LOL

betewe, dulu pernah bikin cerpen yg peran utamanya kucing loh. :D

Finda Fanindita mengatakan...

sebelumnya seperti sudah pernah baca .. tapi dimana yaa .. lupa .. hhaa
entah disini juga ato di fesbuk kayanya yaa ..
tapi tetep SUKA !! :D

puteri hujan mengatakan...

hehehe, makasiih Finda...
baca rectoverso-nya juga deh biar tambah "jleb".

*kushare di fb sih, tp cm link blognya. :D