Sabtu, 05 November 2011

Dua Malaikat



Airmata langit sore tak mampu lagi terbendung. Setelah sekian lama langit berusaha menahan tangisnya, akhirnya dia menyerah. Maka dibiarkannya awan-awan yang menggelantung sejak siang tadi menjatuhi bumi. Menyampaikan segala resah hati. Dan menemani gadis bersayap hitam itu menari.

Gadis bersayap hitam itu tampaknya tak begitu peduli dengan tangisan langit. Dia tetap menari di bawah hujan yang yang makin sengit. Mengepakkan sayap hitamnya yang basah. Menggerakkan kedua kakinya yang sudah kelihatan lelah. Terakhir, dia menghentakkan kaki lalu melayang tinggi dan terjun bebas dari ketinggian seribu kaki.

* * *


Sepasang tangan menangkap tubuh basah saya yang masih setengah melayang. Menjauhkan saya dari derasnya butiran hujan yang berjatuhan. Berusaha menghangatkan tubuh saya dengan mantel yang ia pinjamkan. Saya menolak, enggan. Tubuh saya tidak kedinginan. Hanya mungkin, sepasang sayap hitam perlu dikeringkan.

“Kamu sedang apa, Clara ?”tanya gadis yang tubuhnya memancarkan spektrum cahaya, bias-bias warna. Namanya Talicia Calista.

“Saya sedang menari.”saya membalas pendek.

“Itu sama sekali bukan tarian.”balas Calista.

“Saya tidak peduli. Tahu apa kamu tentang menari.”sahut saya, lalu terbang lagi.

Butiran hujan ini menghujam tubuh saya, rasanya sakit. Namun, lebih baik daripada pedih ketika saya berdiam diri membiarkan hati tersabit. Hujan kali ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Sama ketika saya harus menjemput kekasih Calista, sahabat saya dan membawanya menuju baka. Sama ketika saya harus memilih takdir sebagai penjemput jiwa atau menjadi manusia agar bisa utuh mencinta. Semua sama, rasa sakit yang itu-itu juga.

“Clar, hari sudah gelap. Ayo, pulang !”teriak Calista di antara semburat warna-warni tubuhnya.

Terkadang saya iri padanya. Calista yang memiliki tujuh warna berbeda, bisa membahagiakan tiap-tiap jiwa. Sedang saya dibenci keberadaannya, karena menjemput jiwa dan memisahkan cinta. Bahkan dikutuk, tak boleh jatuh cinta.

Saya melakukan lompatan tinggi sekali lagi. Terbang bermil-mil jauhnya dari bumi. Ah, andai saya bisa terbang menemuinya sekali lagi. Tapi saya tak mampu, tak mau lagi mencabik hati. Saya menerjang hujan yang belum mau berhenti. Entah mengapa langit sesedih ini. Lalu saya berhenti dan melihat bumi yang sepertinya tak berarti. Melihat manusia-manusia yang sebenarnya tak pantas diberi hati. Hati saya, malaikat penjemput jiwa.

Clara menjatuhkan dirinya dari atas sana. Dia bahkan tak mengepakkan sayapnya sekali saja. Dia terjun bebas bersama air matanya yang walau hujan tetap saja dapat diterka. Clara menangis. Bukan lagi menangisi jiwa yang dijemputnya. Malaikat bersayap hitam itu menangis, karena hatinya tak lagi dia punya. Tanah menjemput tubuh lelahnya. Lelah menari. Lelah mencari hatinya. Lelah bermimpi juga barangkali. Lelah berharap jadi manusia.***

Musim semi adalah saat yang paling indah buat saya. Meskipun saya datang membawa duka, bukan berarti saya tak bisa merasa cinta. Saya tahu, rasa kehilangan atas jiwa-jiwa yang saya jemput. Saya tahu, sakitnya bila sesuatu direnggut. Namun saya hanya tahu, bukan merasa. Sampai suatu saat, saya diizinkan merasakannya.

---

Florian adalah seorang malaikat juga, sama seperti saya. Bedanya, dia memiliki sayap putih, dia malaikat penebar kebahagiaan, dia menebarkan cinta untuk manusia-manusia di dunia. Sesekali ada yang menyebutnya cupid, padahal dia bukan malaikat yang membuat orang saling jatuh cinta. Dia hanya menebarkannya, sampai kebahagiaan itu menemukan manusia atau sebaliknya. Seperti hujan yang ditadah bumi. Kebahagiaan yang disebarkan Florian akan menemukan empunyanya sendiri.

Entah sejak kapan, saya dan Florian berteman. Padahal apa yang kami lakukan adalah berlawanan. Calista yang tahu persahabatan saya dengan Florian setengah tak percaya. Sejak mula, Calista menasehati saya dan Florian jangan bersama. Dewa Kematian pun tak akan suka jika tahu saya bersama Florian. Penjemput jiwa tak boleh mengenal cinta, tak boleh mengerti. Tapi, sekali lagi saya tak peduli. Meskipun semuanya mesti serba diam-diam. Namun, dia tak berkeberatan.

“Hitam dan putih tak sama, Sayang. Hati-hati, kau nanti jadi dia. Kau ini penjemput jiwa.” Saya tidak mau peduli. Calista boleh bersama manusia, mengapa saya tak boleh bersama Florian, padahal kami sama.

Hujan rintik-rintik sedang menemani pelangi. Calista sedang mewarnai langit senja ini. Gadis bersayap hitam itu menatapi bulir-bulir hujan yang jatuh ke bumi. Menyentuhnya satu-satu, lalu tanpa sadar dia menari. Tarian di bawah hujan. Calista kebingungan. Dia segera turun menjemput Clara. Menyembunyikannya sampai hujan reda.

“Kenapa saya tak boleh menari ?”saya bertanya pada Calista. Wajahnya cemas bukan main, bahkan pelangi tadi tak selesai digambarnya.

“Kau penjemput jiwa, Clara. Penjemput jiwa tak boleh jatuh cinta. Nanti kau akan sulit mengambil jiwa-jiwa itu. Hatimu akan mudah merasa iba. Dewa Kematian tak akan suka.”

“Saya bahkan tidak jatuh cinta pada manusia. Di mana salah saya ?”

“Tapi, kamu jatuh cinta pada penebar bahagia.” Lalu hening. Lalu pening. Baru kali ini, saya tahu bagaimana rasanya pedih. Bagaimana rasanya sedih.***


Florian memberikan bungkusan bersinar itu pada Clara. Clara membiarkan matanya menikmati cahaya-cahaya merah menyala. “Itu namanya hati.”, kata Florian. “Punyaku. Padamu, sebentar kutitipkan.”, dia melanjutkan. “Sampai kapan ?”, Clara menyahut pelan. “Sampai kamu bosan.”

Lalu Clara meletakkan hati merah itu ke dalam dadanya. Berusaha mengerti apa-apa yang dikatakan para manusia tentang cinta. Tentang kehilangan paling menyakitkan karena kematian. Karena dia, penjemput jiwa. Clara tiba-tiba menangis. Ingin dia meminta maaf pada Calista, yang sebulan lalu disakitinya. Clara mengirim manusia yang paling disayangi Calista, ke alam baka.


“Kau bahkan tak perlu meminta maaf untuk itu, Clar ! Itu sudah seharusnya.”

“Tapi, waktu pemakamannya kamu menangis, Calista. Saya merasa berdosa. Menjemput seseorang yang paling kamu cinta.”

Calista tidak menjawab, dia malah terhenyak. Terkejut oleh apa yang baru saya sampaikan. Dengan langkah cepat dia mendatangi saya.

“Clara, kau sungguh telah gila. Lepaskan hati itu sekarang juga, sebelum Dewa Kematian yang memaksa.”

Saya terbang pergi. Menjauhi mereka yang tidak suka saya bahagia. Menjauhi kenyataan bahwa saya cuma penjemput jiwa, tak boleh jatuh cinta.

---

Saya menemukan tempat sembunyi. Nyaman dan terisolasi. Tak ada yang tahu tempat ini kecuali kami –saya dan Florian-. Tempat ini peristirahatan setelah kami lelah dengan pekerjaan. Saya dengan jiwa-jiwa yang saya bawa. Florian dengan bahagia yang disebarkannya.

Tempat ini adalah sebuah hutan cantik di dekat air terjun. Hutan belukar yang penuh binatang buas. Manusia tak akan menjangkaunya. Calista tak akan mengetahuinya. Dan semoga Cupid dan Dewa Kematian juga tak menyadarinya. Dua malaikat hilang.

“Aku ingin jadi manusia.”Florian berkata tiba-tiba. Membuat saya cukup jengah. Apa kehidupannya sebagai malaikat penebar kebahagiaan tidak membuatnya bahagia?

“Kenapa ?”

“Karena, kadang-kadang aku bosan. Aku ingin menjadi manusia yang bebas memilih kehidupannya. Bukankah kamu juga merasa hal yang sama, Clar ?”

“Ya.”saya menjawab lirih.

“Kenapa ? Tak maukah kamu jadi manusia ?”

Saya diam tak bergeming. Bolehkah, saya menjadi manusia ? Lalu, bagaimana dengan keluarga saya, para penjemput jiwa. Tak akankah Dewa Kematian marah pada mereka ?

“Saya tidak tahu, Flo. Saya ingin. Hanya…”

Hening lagi. Jenak mengisi. Diam-diam yang saya benci. Diam yang membuat hati saya pedih. Diam yang membuat saya merasa jauh. Saya benci sunyi.***

Florian memilih untuk menjadi manusia. Sidang langit sudah memutuskan semuanya. Dia diberhentikan tanpa hormat, dibuang ke bumi menjadi manusia. Manusia yang penuh dosa. Manusia yang bisa merasakan semua rasa. Manusia yang juga diimpikan Clara.

“Tidakkah kau harus menyusulnya, Clar ? Semuanya sampai sejauh ini.”Calista berujar bimbang. Bimbang melepas saya.

“Saya harus, saya akan menyusulnya. Florian bilang, saya disuruh menunggu. Agar semuanya tak terlalu kentara. Apalagi, penjemput jiwa tidak boleh jatuh cinta.” Saya berkata dengan nada sedikit lega. Meski ada sakit yang tiba-tiba menyergap dada. Hati ini sakit, entah mengapa.

---

Purnama berganti empat kali. Clara terbang menemui Florian di bumi. Menyembunyikan sepasang sayap hitamnya di balik jaket berwarna khaki. Di dapatinya Florian dengan wajah seperih manusia yang akan dia ambil jiwanya. “Ada apa?” Clara bertanya khawatir. “Clar, kumohon kembali saja. Kembali jadi penjemput jiwa. Jangan jadi manusia.” Florian mengiba.

“Aku jatuh cinta pada manusia.”

Setengah tak percaya saya mendengar pengakuannya. Semua usaha yang dilakukannya dijadikan sia-sia. Semua harapan yang setinggi istana dilebur tiba-tiba. Aduh, hati pinjaman ini teriris, pedih. Saya berharap semoga ini mimpi. Mimpi buruk, dan saya ingin terbangun !

“Kenapa ?”saya bertanya dengan nada sebiasa mungkin yang saya bisa. Tidak ingin terdengar terluka.

“Dia menyelamatkanku sewaktu langit membuangku. Maaf. Aku juga tidak menyangka akan begini jadinya. Aku sudah berusaha untuk menghindari perasaan itu, tapi sebagai manusia aku tidak sanggup.”

Nanar. Langit seolah terbelah. Saya ingin marah. Marah pada keadaan. Saya ingin menjemput jiwa dari keadaan, jika ia punya. Saya benci. Benci menjadi selemah ini. Begitu rapuh, seperti manusia. Hanya saja, saya memiliki sepasang sayap hitam.

“Hati bercahaya ini…”

“Kuberikan padamu. Hatiku sewaktu menjadi malaikat memang punyamu. Sekali lagi maafkan aku. Aku…”

Clara melesat terbang secepat yang dia bisa. Mencari hujan untuk menyamarkan airmatanya. Clara menanri-nari sampai dia lelah. Sampai hilang resah. Hujan deras tak dipedulikannya. Teriakan Calista diabaikannya. Clara terus terbang meninggi, menjatuhkan diri dari ketinggian seribu kaki. Calista menangkapnya, berusaha menenangkannya. Dia duduk diam sementara. Tapi lalu dia tak kuasa, menahan sakit-sakit yang menghujam dadanya. Clara terbang lagi. Menghentakkan kaki dan melesat tinggi sekali. Lalu dia menjatuhkan diri.

Clara menjatuhkan dirinya dari atas sana. Dia bahkan tak mengepakkan sayapnya sekali saja. Dia terjun bebas bersama air matanya yang walau hujan tetap saja dapat diterka. Clara menangis. Bukan lagi menangisi jiwa yang dijemputnya. Malaikat bersayap hitam itu menangis, karena hatinya tak lagi dia punya. Tanah menjemput tubuh lelahnya. Lelah menari. Lelah mencari hatinya. Lelah bermimpi juga barangkali. Lelah berharap menjadi seperti manusia.
***

Bandung, 18/April/09. 18.30
Untuk hujan :)

1 komentar:

mutiaramutiara mengatakan...

aku pernah baca yg ini kayaknya... :D
nice.. aku suka settingnya ^^d