Perasaan ini tidak nyaman. Aku
yakin pada suatu hari perasaan ini harus kuungkapkan, aku keluarkan hanya agar
aku tidak kehilangan diriku yang dulu, yang entah bagaimana selalu mampu
memaafkanmu. Jadi dari 366 hari di tahun kabisat ini, kupilih satu hari tertentu.
Hari spesial semestaku, hari di mana segalanya tentang aku, hari ulang tahun
keramatku. Kupilih hari bahagia untuk menuliskan perasaan tidak nyamanku
tentang kamu, tidak perlu menyangkal atau bersikap terlalu banyak tahu.
Aku tak akan pernah lupa malam itu, jika kau ingin aku
begitu menelusuri ingatanku, hari di mana secangkir honey latte-ku rasanya
pahit empedu. Sebenarnya itu bukan kali pertamamu melukaiku, namun itu akan
menjadi kali terakhir kamu kuizinkan melukaiku. Sebelumnya, setiap kali kuizinkan
kamu melukaiku, aku akan memaafkanmu setelahnya. Dan aku benar-benar selalu
memaafkaanmu. Hanya saja aku menjadi mudah waspada pada lakumu, aku menjadi
tidak mudah percaya kata-kata manismu. Bagiku manismu empedu.
Malam itu seperti malam sebelumnya, seperti biasanya ritual
kecil yang selalu kita lakukan, bertiga. Bukan aku buta atas semua yang telah
dan tengah terjadi dengan kamu dan dia. Mataku tidak buta, hatiku jauh lebih
peka merasa. Aku wanita dengan segudang cerita jatuh cinta dan patah hati.
Tapi, kuyakinkan sendiri diriku bahwa bahkan atas nama cintamu dan dia, ritual
kecil kebersamaan kita ini tak akan mengganggu, aku tak akan jadi benalu.
Lampu pijar berpendar-pendar cantik, hujan romantis di luar
ruangan, dan alunan musik Banda Neira tentang Pelukis Langit yang lari
terburu-buru. Aku tahu suasana itu, aku tahu yang biasa yang kamu lakukan
dengan suasana itu, aku mengenalmu lewat kebiasaanmu, membaca gerak-gerikmu.
Aku tahu kamu akan menggenggam tangannya dan aku tidak (pernah) berkomentar
karena kupikir itu membahagiakannya. Karena kamu bahagia, karena kalian
bahagia. Aku bahagia karena kalian semua berbahagia.
Lantas, tak terbersit pun dalam pikirku kamu akan bertanya
dengan pongahnya. Mengecilkan aku setelah aku bahkan meniadakan diri. Setelah
aku berusaha tidak peduli, percaya bahwa kamu seperti teman-teman baikku yang
lainnya dulu. Jika bahkan ketiadaanku selama ini kurang untukmu sehingga harus
kamu membuatku menjadi nyamuk, aku terima. Aku akan menjadi nyamuk yang
menghindari petisida yang membuatku muak. Aku akan pergi ke mana pun ke tempat
tanpa petisida. Sekalipun harus berada dalam udara petisida, aku akan
menggunakan topeng tebalku untuk bernapas. Untuk sekedar tersenyum, untukmu.
Agar dia bahagia. Maaf aku juga menyayangi dia, lebih dari kamu. Aku yakin itu.
Kamu, jangan lupa setiap kuizinkan kamu melukaiku, aku tidak
memberikanmu kesempatan. Aku menciptakannya. Aku menciptakannya untuk dia yang
memberikannya untukmu. Kamu lupa ritual kita yang lainnya, ketika malam itu aku
untuk kesekian ratus kalinya berharap tidak berada di tempat yang sama untuk
mengganggumu bersama dia. Aku selalu berharap aku bukan jarak yang menjauhkan
kamu dan dia. Aku selalu berusaha dengan segala macam upaya, untukmu dan dia.
Kamu tahu ?
Malam kesempatan itu kemudian kulupakan, hingga malam
lainnya tiba. Malam yang menyadarkan aku bagai orang dungu mengharap bulan. Aku
lah jarakmu dan dia, aku yang terlalu naif dan tak tahu apa-apa tentang dua
hati yang sibuk memberiku tempat. Kalau boleh jujur, ah tidak, aku selalu
jujur... Dan rasanya menyakitkan sekali. Aku tidak lagi bisa memaafkanmu kali
ini, aku tidak mampu. Setitik yang kenangan yang kamu ciptakan malam itu
membuatku bisu, selama beberapa hari. Dan aku terbangun dari kedunguanku sambil
menyertakan doa, semoga kamu dan dia bersama, tanpa jarak yang harus diberi
tempat. Kemudian aku, si dungu yang naif ini tahu apa yang harus aku lakukan.
Doaku pendek dan tidak menyakitkan (aku jamin, doaku tidak akan melukai
siapapun). Doaku dikabulkan. Aku masih bisa menyayangi dia meski aku sadar,
jauh di dalam, dia milikmu. Dan aku melepaskanmu, melupakan, tapi urung
memaafkan. Untuk itu, aku minta maaf. Semoga selalu kamu membahagiakan dia,
semoga dia selalu bahagia. Aamiin.
(argowilis gerbong 4, 21/04/2016, 15:18, setelah kutoarjo
dan pengumuman stase 3)