Jumat, 27 Februari 2015

BAHU



Hujan yang turun sore hari di kota asing ini membuatku merindukanmu. Tiba-tiba kelebatan bayanganmu terus hadir di kepalaku. Ketidakberadaanmu membuatku menyadari, betapa sunyi menjadi seorang diri. Meski aku bersama Ia sekarang ini, meski Ia memiliki aku saat ini. Namun, semuanya tak sama tanpa Kamu untuk berbagi, tanpa bahumu untuk kusandari.

 Mungkin Tuhan tak sengaja mempertemukan kita, mungkin kita yang keliru
mengartikan pertemuan-pertemuan dan kebersamaan kita. Atau mungkin kita memang sengaja dipertemukan Tuhan tanpa maksud untuk dipersatukan, mungkin kita salah waktu menempatkan perasaan-perasaan. Mungkin… kita terlalu pengecut untuk mengambil keputusan.***

 Aku tak pernah menduga kalau pada akhirnya di sinilah aku berada, menjadi seorang karyawan swasta dengan gaji tak seberapa. Mimpi-mimpiku untuk menjadi pengusaha harus kandas karena modal tak ada. Menjadi karyawan tak pernah jadi bagian impianku yang semau gue dan berjiwa rebel. Tapi, di sinilah aku, patuh dan bisu menuruti atasanku.

Dari semua keluhan tentang pekerjaanku hanya satu yang bisa kusyukuri : bertemu Kamu. Atau, entah aku harus bersyukur atau menyesal karena membiarkan diri berharap, karena mengirim isyarat, karena membiarkan hatiku sesukanya berkelana. Padahal saat itu aku sudah bersama Ia, dengan ikatan putus sambung karena kebersamaan yang “kadang-kadang” untuk alasan mengejar cita-cita, mengumpulkan dana untuk mempersatukan cinta, iya, CINTA. Tapi di sinilah aku, menjadi karyawan swasta dengan gaji yang tak seberapa, juga jatuh hati pada Kamu.

 Apa itu cinta ? Apakah cinta hanya permainan pujangga dan musisi penulis lagu melankolis ? Atau cinta hanya eksistensi karena lama bersama ? Atau cinta hanya esensi hati sang pemimpi yang mendamba dengan perfeksionis ? Apa jatuh cinta bisa berkali-kali dalam waktu yang sama ? Atau pada orang yang sama sekian kali ?

 Aku dan Kamu tidak pernah mengartikan cinta, tidak pernah mempertanyakan perasaan-perasaan yang ada. Kita hanya menikmati dan membiarkan semuanya mengalir begitu saja, pelan-pelan dan diam-diam, selagi ada waktu, selagi kita bersama. Kamu menyadari keberadaan Ia meski eksistensinya tak ada. Kamu tetap tahu diri untuk berpijak di tempat seharusnya. Kamu tahu porsimu adalah sebatas bahu yang Kamu pinjamkan untuk air mata.


“Kamu tahu, Ia cemburu padamu.”suatu kali aku bercerita.
“Bagaimana bisa ? Memang apa saja yang kamu ceritakan tentangku?”Kamu menyahut dengan ekspresi setengah terkejut setengah senang.
“Tidak banyak. Ia tidak perlu tahu banyak tentang kita, nanti semakin cemburu.”aku menjawab sambil terkekeh.
“…Aku cerita, kalau kamu suka beberapa hal yang Ia sukai juga, itu saja.”lanjutku.
“Hmmm… Itu kebetulan, aku tidak sama dengan Ia.”wajahmu berubah cemberut.
“Tentu, kalian tak sama. Tak ada seorang pun yang serupa sekalipun mereka kembar.”jawabku. 

Intensitas kebersamaan kita yang setiap kali mungkin membuat perasaan-perasaan rahasia itu tumbuh subur tanpa diketahui siapa-siapa, kecuali kita. Perasaan rahasia itu menghasilkan sebuah hubungan tanpa nama yang kita sebut persahabatan. Persahabatan yang entah macam apa karena perlakuan-perlakuan berbeda, yang harus kusembunyikan dari Ia setiap kali kami bertemu, yang menimbulkan cemburu ketika Kamu dititipi salam teman sebelah mejaku.***

 “Kamu tahu tidak apa yang paling menyenangkan di kantor ini ?”tanyaku lirih suatu hari. 

Beberapa waktu belakangan aku telah memikirkan untuk resign dan bekerja sendiri, menjadi pengusaha seperti cita-citaku. Aku belum memberitahumu karena ragu, apakah dengan kepindahanku “persahabatan” ini akan berlanjut. Aku belum siap kehilanganmu.

“Apa ?”sahutmu balik bertanya.
“Kamu. Bertemu denganmu setiap hari.”jawabku. Aku bisa merasakan kecanggunganmu kemudian, senyum kakumu yang salah tingkah. 
“Terima kasih karena selalu ada.”sambungku.
 “Kamu mau ke mana ? Kenapa bicara seperti itu ?”Kamu bertanya heran.
 “Aku berpikir untuk resign.”jawabku pelan.

 Kemudian, Kamu tidak bilang apa-apa. Kamu hanya diam sambil tersenyum, senyuman yang entah mengapa menyakitkan.***

 Aku tak pernah menduga kalau pada akhirnya di sinilah aku berada, menjadi seorang pengusaha dan meraih cita-cita. Sebenarnya keuntungan yang kudapat pun belum seberapa. Tapi paling tidak aku meraih mimpi, bukan duduk diam mendengar perintah dan menuruti.

Dari semua kebahagiaan yang kusyukuri hanya satu hal yang kukeluhkan : ketidakberadaan Kamu. Entah apa sesungguhnya yang perlu kukeluhkan jika kata orang, “ketika kau memperoleh keinginanmu, kau kehilangan yang kau miliki”1. Seharusnya aku sudah tahu konsekuensi itu. Karena bahkan aku tak memilikimu, karena bahkan perasaan-perasaan rahasia kita berlabel persahabatan. Padahal saat ini aku sedang bersama Ia dengan intensitas pertemuan setiap hari. Cita-cita kami hidup bersama di depan mata, mempersatukan cinta, iya, CINTA. Dan di sinilah aku meraih cita-cita menjadi pengusaha bersama Ia, namun tak juga bisa melupakanmu.

Apa ini CINTA ? Inikah cinta yang menyatukan dua manusia yang bercita-cita sama, meraihnya bersama, bersama karena terbiasa ? Inikah cinta yang berlabel nama dengan segala eksistensinya tanpa esensi yang sempurna ? Inikah cinta yang yang setia karena tak pernah berpaling dari Ia ? 

Aku dan Ia selalu bicara filosofi tentang cinta. Bahwa cinta adalah persahabatan yang kekal. Bahwa hubungan berlabel nama itu mengikat hati dan saling memiliki. Bahwa akhir yang bahagia itu tidak ada karena cinta tak pernah berakhir. Bahwa cinta adalah pembiasaan yang separuhnya eksistensi dan separuhnya lagi esensi hati.

Seharusnya hidupku sekarang ini lengkap, aku meraih cita-citaku bersama Ia yang kucinta, cinta menurut filosofi kami. Namun, mungkin Tuhan menjadikanku manusia biasa. Manusia yang serakah dan ingin segalanya, diberi satu meminta dua. Diberi Ia, masih kuminta Kamu. Kamu yang kini entah di mana, tak ada kabar, menghilang tanpa jejak tersisa. Mungkin Tuhan sedang menghukumku yang pernah menduakan hati untuk Kamu dan Ia. Mungkin Kamu diselamatkan dari sakit hati melihatku bersama Ia. Maha Baik Tuhan. Maha Kuasa pula.***

Setengah tahun berlalu, aku dan Ia memutuskan bersatu. Kami memilih hari baik dan tanggal baik, sibuk dengan banyak persiapan mempersatukan cinta. Sesekali aku melupakanmu yang berlalu begitu lama, tapi sedikit kusisipkan rindu setiap kali teringat kita. Aku ingat, bahumu adalah tempat ternyaman untuk bersandar. Ketika cintaku pada Ia memar. Ketika keluhku untuk Ia besar. Dan ketika kecewaku terhadap Ia membuatku tak bisa bersabar. Kamu selalu meminjamkan bahu, meski tahu setiap kali kupinjam bahumu, artinya aku sedang berpaling pada Ia dan melupakan Kamu.

Mungkin kelanaku lelah pada akhirnya, kemudian aku pulang kepada Ia yang menungguku sekian lama. Mungkin aku ambil pusing dengan omongan tetangga yang begitu ribut berkomentar tentang aku dan Ia. Mungkin karena aku terlalu pengecut untuk mengakui hati bahwa kepada Kamu aku jatuh cinta, lalu aku mengabaikan ego yang berusaha mewujudkan kita. Undangan pernikahan aku dan Ia sudah disebar, kukirimkan satu ke kantor lama Kamu. Semoga Kamu masih di sana, semoga Kamu berkenan datang meski harus menyakiti hati ke sekian kali selain setiap kali Kamu pinjamkan bahumu. Semoga Ia tak cemburu melihat bahumu yang selalu kusandari setiap kali. Banyak semoga. Banyak aku berdoa : semoga Kamu tiba bersama Dia yang membuatmu bahagia. Aamiin. ---


Sepucuk surat datang sehari sebelum prosesi pernikahanku. Dikirimkan tanpa nama ke tempat usahaku, beruntung bukan Ia yang menerima, beruntung aku yang berjaga. Beruntungkah aku ? Kurobek pelan amplop tanpa nama. Secarik kertas kecil kubuka perlahan, sekali terka aku tahu itu suratmu.

“Maafkan aku yang sekian lama tak bisa melepaskanmu, meski kamu sekarang sudah dimiliki. Maafkan aku tak bisa ikut bahagia melihatmu yang bahagia dengannya. 
Maafkan aku yang tak punya keberanian untuk sekedar menyapamu dan bersikap seolah semua baik-baik saja. 
Maafkan aku untuk setiap kepengecutanku dengan berjuta alasan yang kupunya. 
Maafkan aku yang melewatkanmu. 
Maafkan aku mengabaikanmu. 

Cinta yang kupunya telah kuhabiskan untukmu. Bahagialah dengan hidupmu, lupakan aku. Aku akan berusaha melanjutkan hidupku.” 

FIN.

27Februari2015.00:46 wib
#kepadalelagumelankolis


Tidak ada komentar: