Minggu, 25 Maret 2012

Langit Burgundy dan Bulan Perak




Pagi itu langit abu-abu, awan mendung mengabarkan pilu. Sehelai daun jatuh ke atas bumi dan akhirnya hujan menangisi. Setengah tidak percaya aku mendengarnya, tapi air mata tak kunjung tiba. Sebelah hati dingin yang kemarin tiada, berpulang kepada-Nya. Tubuhku kebas tak berasa, otakku entah berpikir apa. Sedang memori, aku tak punya biar barang secuil saja.

Kuambil koper kecil yang biasanya kugunakan untuk perjalanan antar kota. Kukepak pakaian sekenanya, karena aku tahu semua tak begitu berguna saat di sana. Mungkin dia hanya ingin air mata. Sebagai tanda bahwa padaku, dia pernah menitipkan hatinya. Mungkin dia hanya meminta doa seperti kata yang pernah kami ucapkan bersama, “Saling kirim doa, ya!”.
***


Senja hari cuaca begitu berbeda. Jelas saja, aku telah sampai ke bagian bumi belahan sana. Mega bersih tanpa sebaris pun arakan awan, apalagi mendung. Sinar keemasan matahari jatuh sempurna di permukaan air yang menggenang. Tak lama langit berubah warna menjadi burgundy dan bulan perak menyusul menggenapi.

Menurut dia, satu-dua tak akan cukup menggenapi. Karena genap adalah masalah hati, tidak pasti. Bukan angka, bukan matematika, tanpa logika. Menurutku, genap adalah menyoal hati yang pasti. Satu tanpa tapi.

Kutatapi langit-langit kamar sewaan ini, terlalu putih. Jadi kubuang pandanganku pada langit burgundy cantik di luar sana. Rasanya aneh ketika dunia menjadi begitu cantik, sementara ada orang-orang sedang berduka. Menangisi dia. Jadinya aku bersyukur sambil berduka, namun tetap tak bisa menghasilkan air mata.
***

“Tidurmu nyenyak ?”sapa sebuah suara di telepon genggamku.
“Uhm, ya… Di sini cantik sekali.”kebiasaanku menyebut semua hal yang indah dengan cantik.
“Jangan betah-betah di sana, lekas kembali.”lanjut suara itu.
“Tentu, miss you already.”sahutku.
“Oke, cepatlah menemuinya. Bumi tak akan menunggu terlalu lama. Lalu kembali ke sini.”

Klik. Sambungannya diputus dari sana. Ada intonasi berbeda dalam kalimat terakhirnya. Dan permintaan di ujung percakapan diucapkan terlalu lirih, entah mengapa. Tapi aku tak ambil pusing dengan banyak menerka. Kuambil gaun hitam dengan belt perak di pinggangnya. Lalu kukenakan begitu saja, wajah tak perlu di make up sempurna, untuk apa ? Dia tak akan melihatnya lagi. Aku hanya diperlukan karena ini sebuah janji.
***

Upacara pemakaman telah berlangsung beberapa lama ketika aku tiba di sana. Aku langsung menenggelamkan diri di antara para pelayat yang berdoa. Ikut berdoa, kadang bertanya, banyak sekali bertanya. Di antara pertanyaan itu aku menemukan ia, wanita dengan balutan gaun gelap burgundy. Cantik sekali. Ada lelehan air mata di pipinya yang berisi. Aku menatapnya hingga ia menyadari. Kami lalu saling menghampiri, mencium pipi kanan kiri, menangisi dia dengan cara sendiri-sendiri.

“Aku tak menyangka akhirnya kita bertemu.”ujarku masih tak percaya dengan kelebatan peristiwa yang berdatangan begitu tiba-tiba.
“Aku tahu kita akan bertemu. Hanya tidak menyangka dalam situasi seperti ini, keadaan ini.”sahut ia sambil tersenyum di sela tangis diam-diamnya.
“Aku juga. Sudahlah, relakan dia.”aku berkata sambil menuntunnya menuju sebuah peti.
“Sudah lama, jika hanya untuk merelakan dia pergi. Tapi bukan pergi yang begini.”ia menyahut lagi.

Kami sudah sampai tepat di depan peti. Jajaran bunga duka cita bertaburan memenuhi. Aku dan ia hanya sibuk membuka kotak kami masing-masing, meletakkan sebelah hati yang pernah dia titipkan kepada kami. Di sana, hati dia menjadi utuh. Meski sudah agak lusuh.

Agak lama aku dan ia memandangi dia untuk terakhir kalinya. Sudah jauh berbeda. Sangat jauh berbeda. Dia pasti jauh lebih baik setiap kali pergi. Pergi menitipkan hati, pergi mencari hati untuk mengisi. Ketika itu, seorang wanita yang begitu cantik dengan gaun hijau sangat gelap menghampiri peti. Mengambil sebelah hati –yang kurasa miliknya, kemudian meletakkannya kembali di dadanya.

“Kalian datang juga.”katanya lirih. Matanya penuh dengan air mata yang tampaknya tak akan habis walau mengaliri pipinya selama sewindu.
“Hal seperti ini tidak butuh undangan.”sahutku sambil memberinya sapu tangan, karena aku tak bisa memakainya tanpa air mata.
“Terima kasih, …?”
“Clara.”ujarku memperkenalkan diri.
“Dan Hannah.”ia mengikut menyebutkan namanya.
“Terima kasih, Clara dan Hannah. Terima kasih sudah datang dan mengembalikannya. Terima kasih karena pernah ada sebelum saya.”
“Tak perlu. Kamilah yang harus bilang begitu.”jawabku tersenyum.
“Kamu telah mengambil kehilangan dari kami.”begitu jelas ia.

Wanita itu tampak bingung dengan kebaikan hati kami. Aku dan ia melenggang menjauhinya yang hanya bisa duduk diam terpaku, menatapi dan meratapi jasad suaminya.

“Kau punya kawan-kawan yang begitu baik, Suamiku.” ucapnya lirih sambil memasukkan saputangan pemberianku ke dalam peti.
***

25 Maret 2012
Yogyakarta, kamar delapan.

#untuk air mata yang tak kunjung mereda, untuk cantik-cantik yang pernah ada, untuk aku yang bermain kata-kata.
-kehilangan hanya akan ada jika kita merasa memiliki-

Tidak ada komentar: